Event 1000 Startup
Memiliki startup atau perusahaan rintisan dibidang teknologi merupakan salah satu dari beberapa cita-cita oleh seorang yang berkecimpung di dunia IT. Bahkan bukan hanya orang-orang IT yang memiliki cita-cita tersebut, banyak sekali orang non-IT yang telah melihat potensi bisnis yang luar biasa di bidang IT pun memiliki kemauan yang sama untuk menelurkan sebuah ide perusahaan rintisan. Hal itu tentu saja tidak jadi masalah, karena setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk bisa berkarya tanpa melihat latar belakang pendidikannya.
Penulis sendiri juga memiliki cita-cita demikian, oleh karena itu dengan adanya event besar bernama 1000Startup Digital di Indonesia, penulis juga berniat dan berangkat mengikuti pagelaran yang diinisiasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (KEMENKOMINFO) bersama KIBAR.
Selain dua inisiator diatas, event ini sebenarnya juga didukung oleh perusahaan-perusahaan partner yang nantinya akan ikut berkecimpung membantu memberikan mentor & inisiatif pengembangan ide produk, hingga mentoring saat inkubasi startup.
Perlu diketahui juga, bahwa event 1000 Startup menurut penulis adalah event Startup paling besar & prestisius di Indonesia pada tahun 2016 ini, sehingga wajib diikuti oleh pelaku IT karena event ini juga diselenggarakan di beberapa kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan kota lainnya.
Pada kesempatan ini, penulis yang sempat mengikuti Batch 2 Ignition 1000 Startup di Balai Sidang Universitas Indonesia-Depok akan membeberkan beberapa point-point penting yang diambil dari acara tersebut. Dimana pada Batch 2 tersebut hadir beberapa pembicara spektakuler dan menarik yang telah mecicipi pahit manis dunia Startup Indonesia maupun Internasional.
Startup Harus Memiliki Culture
Pembicara menarik pertama yang akan penulis kutip ditulisan ini adalah dari seorang yang memiliki pengalaman bekerja di perusahaan mesin pencari paling top di jagad raya, Google. Beliau adalah Henky Prihatna yang saat ini menjabat sebagai Country Industry Head Google Indonesia.
Dalam pembicaraan beliau, point penting yang harus dimiliki oleh sebuah startup bukanlah berkaitan dengan marketing atau produk, namun point itu adalah culture (kebudayaan). Company besar seperti Google sangatlah mengedepankan culture, sehingga Google bukanlah perusahaan yang biasa-biasa saja baik dimata 60.000 lebih pekerjanya maupun milyaran pengguna Google sendiri.
Kenapa harus culture? Henky menambahkan bahwa perusahaan yang tidak memiliki culture suatu saat pasti akan tenggelam, karena kebudayaan di sebuah perusahaan pada akhirnya dapat memberikan kesan positif dan feel yang berbeda dibanding perusahaan konvensional pada umumnya.
Culture paling penting yang dimiliki oleh Google saat dijelaskan oleh Henky adalah culture of inovation. Google menelurkan banyak sekali inovasi bukanlah hanya karena keahlian skill oleh para engineer mereka, namun inovasi Google berasal dari banyak Feedback dari para pengguna Google sendiri.
Google bukanlah perusahaan yang didirikan dalam satu malam, ingatkah pembaca pada awal-awal Gmail diluncurkan? Nama Gmail pada waktu itu adalah Gmail Beta dan bukan Gmail, karena pada waktu itu, Google memberikan kesempatan berupa masukan dari pengguna Gmail Beta agar nantinya Gmail dapat sepenuhnya menjadi produk yang memang bermanfaat bagi pengguna. Hingga pada akhirnya, Gmail sekarang merupakan teknologi mailer canggih, berangkat dari masukan oleh user dan keahlian para Google engineer.
Petikan penting diatas mengajarkan kita bahwa inovasi produk yang berasal dari masukan para pengguna akan memberikan nilai lebih terhadap Startup yang kita miliki. Sebab, produk yang kita buat itu tidak digunakan oleh kita namun juga orang lain.
Tanpa Inovasi Perusahaan Akan Mati,
But How to Scale Up?
Perjalanan panjang sebuah perusahaan harus diikuti oleh inovasi produk dan visi kedepan perusahaan tersebut untuk mengubah perusahan menjadi lebih besar. Pembicara selanjutnya yang akan penulis kutip membahas mengenai bagaimana dan kapan startup itu harus Scaling Up. Pembicara ini merupakan Managing Director perusahaan berbasis teknologi Augmented Reality (AR) terkemuka yaitu AR&Co, beliau adalah Peter Shearer.
Perlu diketahui bahwa AR&Co bukanlah perusahaan kecil yang cukup memiliki klien lokal. AR&Co memiliki beberapa cabang di negara lain seperti Singapore, Spanyol (Barcelona), Malta bahkan hingga Silicon Valley (CA). Disney adalah salah satu klien besar yang dibantu oleh AR&Co. Project-project yang dikelola oleh AR&Co juga banyak berasal dari luar negeri mulai dari Asia, Amerika hingga Afrika.
AR&Co adalah perusahaan yang berfokus pada Augmented Reality. Belajar dari proses pembangunan AR&Co yang pada waktu itu dijelaskan oleh Peter, untuk menjadikan perusahaan menuju Scale Up, kita sebelumnya harus memperhatikan beberapa faktor fundamental Startup itu sendiri. Founder harus cermat dan berhati-hati sebelum melangkah menuju Scaling, meski scale up memang membutuhkan uang tapi kita tidak boleh dengan mudah menghambur-hamburkan uang yang dimiliki oleh Startup.
Ditambahkan juga oleh pembicara lain dari seorang CEO Female Daily, Hanifa Ambar. Parameter untuk menentukan bahwa Startup telah Scale Up bisa diketahui saat seorang pengguna berani membayar untuk produk yang kita buat. Selain itu juga, saat melihat progress kenaikan traffic yang signifikan, itu tandanya produk atau bisnis kita sudah menuju Scale Up.
Hanifa memberikan penjelasan bahwa ketika perusahaan rintisan kita telah mencapai Scale Up, itu bisa dilihat ketika bisnis tersebut sudah bisa dijalankan tanpa perlu Founder atau CEO melakukan keputusan bisnis, karena semua keputusan sudah terdelegasikan dengan baik disemua divisi didalam Startup bersangkutan.
Singkat kisah, membangun startup memang tidak mudah, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh founder, tantangan dan solusi yang kita peroleh akan memberikan pelajaran berharga. Sehingga pada akhirnya, jika startup dikelola dengan baik maka kontribusi yang positif bagi kita maupun khalayak banyak akan tercapai. (Mk)
thanks for sharing ya