Press ESC to close

Journey to AI Engineer — Part 1: Kenapa Sih! Harus AI?

Cerita awal kenapa saya — seorang web engineer — akhirnya nyemplung ke dunia AI. Nggak disengaja, tapi akhirnya keterusan ?.

Selama lebih dari satu dekade, dunia web development berubah cepat banget. Dulu kita masih main PHP dan jQuery, sekarang semua orang ngomongin React, Next.js, sampai serverless. Tapi akhir-akhir ini, ada satu hal yang terasa beda, dimana semua orang bicara soal AI.

Sebagai web engineer, saya awalnya cuma mikir, “Ah itu mah buat data scientist, bukan buat web engineer.” Tapi lama-lama penasaran juga. Kok semua produk mulai bilang “powered by AI”?

“Emangnya web developer bisa jadi AI engineer juga?”

Pertanyaan itu terus keinget sampe akhirnya saya mutusin: ya wis, tak coba wae!!!. Mulai dari nol. Inilah awal dari seri ini, Journey to AI Engineer.

Bisakah seorang web engineer menjadi AI engineer — tanpa harus kembali kuliah atau jago matematika tingkat tinggi?”

Pertanyaan itu jadi awal perjalanan baru ini: Journey to AI Engineer.

Mengapa AI Penting?

AI sekarang bukan cuma buat chatbot, tapi udah masuk ke semua lini: dari alat desain, analisis data, bahkan sampai coding assistant. Bayangkeun aja, sekarang nulis kode pun bisa dibantu AI, mulai dari Copilot, ChatGPT, sampe Claude. Mau nggak mau, dunia software makin ke arah situ.

Bagi web developer dan engineer-engineer lain, AI ini ibarat “superpower baru” sekaligus asisten pribadi bahkan. Dengan AI, sepengalaman saya sebagai engineer, sekarang kondisi jadi seperti ini:

  • Bug fixing sudah hampir melupakan website bernama Stackoverflow. Kalian ngerasain?
  • Dikit-dikit tanya GPT. Bahkan pertanyaan untuk hal-hal kantor bisa jadi ditanyain juga dengan AI. Loop hole banget ini.
  • Bug fixing serasa lebih cepat untuk hal-hal practical
  • Banyak junior serasa senior, karna mereka bisa manfaatin AI.
  • Yang lebih parah, sekarang sebuah company bisa melakukan efisiensi karna salah satu alasannya adalah karna ada AI.

Nah dari situ, saya malah berfikir lagi, ternyata AI itu sangat menakutkan. Ibaratnya dia bisa jadi virus, juga bisa jadi obat. Memang nggak semenakutkan itu.

Akhirnya dengan berkecamuknya pikiran itu, saya mulailah berkecimpung di dunia AI. Cuma dari rasa penasaran dan sedikit waktu. Sisanya, mencoba pelan-pelan.

Mindset Baru: Dari Web Thinking ke AI Thinking

Jika di web development kita berpikir dalam pola request -> response -> render, di dunia AI pola pikirnya hampir mirip sebenarnya, tapi berubah menjadi input -> representation -> reasoning -> output.

Di sini kita nggak cuma menulis logika, tapi mengajarkan mesin untuk belajar dari data.

Bagi seorang web engineer, hal ini sebenarnya tidak asing.
Kita sudah terbiasa dengan data, API, dan struktur informasi — hanya saja, kali ini datanya jauh lebih kompleks, dan “logika”-nya bukan sekadar if-else, tapi berbentuk model terlatih (bahasa sederhananya: mesin yang terlatih).

Contoh gampangnya: Kalau di web kita terbiasa bikin “form login”, di AI kita akan terbiasa untuk modifikasi bahkan membuat “model yang tahu siapa pengguna cuma dari pola ngetikannya”. Bedanya kelihatan halus meski bukan apple to apple, tapi cukup mind-blowing banget pas pertama kali berhasil.

Step Awal: Belajar Konsep Dulu, Jangan Sombong Langsung Ngoding!

Waktu awal ingin terjun ke AI, saya sempat bingung. “Mulai dari mana, sih?” Tapi ternyata banyak banget platform gratis yang bisa bantu kita belajar step-by-step tanpa perlu ngerti kalkulus tingkat dewa.

Sebelum terjun ke coding dan GPU, saya mulai dari pondasi — memahami konsep dasar machine learning dan deep learning.
Untungnya, ada banyak sumber gratis dan mudah diikuti bagi developer non-ML:

Di sinilah perjalanan saya akan dimulai — memahami konsep dulu, baru eksperimen. Karena AI bukan sekadar “coba model”, tapi memahami “kenapa model itu bisa bekerja”.

Dari kelima course, saya lebih sering ke Google ML Crash Course dan Hugging Face Course. Karena GRATIS!

Catatan Awal

AI itu bukan tentang jadi jenius, tapi tentang ngerti pola. Dan bagi seorang web engineer, kita sebenarnya udah terbiasa mikir tentang data, API, dan struktur. Bedanya, sekarang kita ngajarin komputer untuk “mikir balik ke kita”.

Menuju Part 2: Belajar dan Eksperimen

Pada Part 2, saya akan bahas tentang belajar AI gratis dari platform-platform di atas dan bagaimana saya menyiapkan pondasi untuk mencoba model pertama di Hugging Face tanpa coding berat.

Dan di bagian itu, saya bakal bahas cara belajar AI dari nol pakai platform gratis — alias “cara jadi pinter tanpa bayar” :D.

Saya akan berbagi sejujur mungkin terkait curhatan, error yang ditemui, hasil eksperimen, dan insight yang bisa dipakai oleh web developer lain yang ingin ikut perjalanan ini.

Artikel ini saya tulis pada Maret tahun 2025.

Muhammad K Huda

A non exhausted blogger person within fullstack engineer (spicy food), open source religion, self-taught driver and maybe you know or don't like it. Simply says, Hello from Me!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Cek untuk notifikasi e-mail jika komentar dibalas.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.